Home > Tugas > Aktifitas Pertanian Mulai Kurang Dinikmati oleh Generasi Muda Berkualitas

Aktifitas Pertanian Mulai Kurang Dinikmati oleh Generasi Muda Berkualitas

Aktifitas Pertanian Mulai Kurang

Dinikmati oleh Generasi Muda Berkualitas

Disusun sebagai Tugas Ilmu Budaya Dasar

Penyusun :

Nama                :  Adi Darmono

Kelas                 :  1KA26

NPM                  :  11109883

Universitas Gunadarma Kalimalang Kampus J

ATA 2009/2010

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmatnya penyusunan makalah dengan judul “Aktifitas Pertanian Mulai Kurang Dinikmati oleh Generasi Muda Berkualitas” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan lancar. Dan berkat rahmatnya juga yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kami menjadi tahu tentang apa itu kebudayaan, mengapa masyarakat perlu mempelajari kebudayaan, dan pentingnya kebudayaan lokal dalam memperkokoh budaya bangsa.

Dalam makalah ini kami menyajikan tentang kondisi pertanian di Indonesia. Saat ini generasi muda lebih memilih jurusan lain selain pertanian, karena pola fikir yang menganggap bahwa petani itu pekerjaan kasar dan identik dengan kemiskinan. Jurusan lain yang dianggap lebih menjanjikan untuk masa depan dan lebih bergengsi yang saat ini diminati. Padahal jika dilogika kita bisa makan karena panennya petani. Tanpa mereka kita kekurangan bahan makanan pokok. Jangan sampai kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki lahan yang subur nan luas yang cocok dijadikan lahan pertanian malah mengimpor beras dari Negara lain.

Makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan ataupun materi. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa kami terima dengan hati terbuka. Semoga tulisan – tulisan ini dapat memberikan informasi kepada saudara – saudara, bermanfaat untuk pembacanya dan dapat memberikan semangat untuk membawa sesuatu ke arah yang positif.

Daftar Isi

Halaman judul……………………………………………………………………………………………………………….. 1

Kata pengantar…………………………………………………………………………………………………………………. 2

Daftar isi…………………………………………………………………………………………………………………………….           3

Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………………………………………………….  4

Bab II Tujuan………………………………………………………………………………………………………………………6

Bab III Sasaran…………………………………………………………………………………………………………………… 8

Bab IV Permasalahan………………………………………………………………………………………………………… 10

Bab V Penutup………………………………………………………………………………………………………………….   13

Bab I Pendahuluan

Selain lahan yang terus menyempit, infrastruktur yang rusak, pertanian di Indonesia juga punya masalah serius dalam perkara sumber daya manusia. Di Jawa barat 40 persen petani berusia dia tas 50 tahun (Kompas, 4/8/2008). Usia yang tidak lagi produktif untuk melakukan pekerjaan-pekarjaan di bidang pertanian ini tentu saja menuntut adanya regenerasi sehingga bisa menjamin tetap bergulirnya aktivitas pertanian yang merupakan sumber utama penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia, terutama di Jawa barat.

Namun demikian, generasi muda, yang semestinya menjadi generasi penerus, sangat jarang yang memilih pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Di desa, kaum muda yang umumnya lahir dan dibesarkan di keluarga petani, sebagian besar enggan untuk melanjutkan profesi orang tua mereka untuk menjadi petani. Mereka lebih memilih pekerjaan ‘non tanah’ sebagai sumber penghidupan. Misalnya menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, atau tukang ojek. Sebagian dari mereka tergoda untuk pergi mengadu nasib di kota macam Jakarta. Hal ini bisa dilihat diantaranya dari fenomena urbanisasi tahunan pasca lebaran. Puluhan ribu orang dari desa berbondong-bondong ke kota. Di kota mereka biasanya bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, menjadi buruh bangunan, adapula yang terpaksa menjadi pengamen jalanan.

Di ranah pendidikan, kian sedikit para lulusan SMA yang memilih pertanian sebagai bidang studi yang mereka geluti. Dalam Seleksi nasional masuk perguruan tinggi negri (SNMPTN) tahun ini tersisa 2894 kursi kosong atau sekitar 50 persen pada program studi pertanian dan peternakan di 47 PTN di seluruh Indonesia (Kompas, 1/8/2008). Fenomena ini begitu ironi, pertanian yang merupakan sumber utama kehidupan masyarakat Indonesia kini bidang studinya makin kurang diminati.

Semakin lunturnya minat generasi muda terhadap pertanian diantaranya disebabkan oleh citra pertanian (dalam hal ini petani) yang sering diidentikkan dengan kerja kasar dan kotor serta penghasilan yang pas-pasan. Tentu saja itu adalah pandangan yang sempit. Karena jika profesi di bidang pertanian itu ditekuni dan dikerjakan dengan manajeman dan keilmuan yang mumpuni, bila diukur secara materi, bisa menghasilkan pendapatan yang berlipat-lipat dibanding pekerja kantoran. Namun demikian, pekerjaan-pekerjaan di bidang selain pertanian, masih dianggap menawarkan kemakmuran yang lebih besar dengan cara yang praktis dan ‘bergengsi’.

Bagi mereka yang hendak memilih jurusan di perguruan tinggi, jurusan seperti tehnik, komputer (TI), kedokteran, hukum, komunikasi, dan akuntansi tetap menjadi pilihan utama. Sebab mengapa jurusan-jurusan tersebut diminati, diantaranya, adalah karena di kehidupan sehari-hari seorang dokter, IT engineer, pengacara, atau akuntan sudah lazim dikenal sebagai kelompok profesi ‘bergengsi dengan penghasilan yang besar. Meski argumen tersebut terlalu menyederhanakan masalah—karena tidak semua lulusan akuntansi jadi akuntan handal atau tidak semua lulusan kedokteran jadi dokter yang sukses secara karir dan materi—tapi banyak orang sudah terlanjur memandang hal tersebut sebagai suatu keniscayaan.

Bab II Tujuan

Di media massa  sudah di beritakan bahwa jurusan Pertanian dan Peternakan semakin tidak diminati dengan indikasi semakin berkurangnya jumlah pendaftar, selain memang biaya kuliah yang makin meroket juga karena  sektor pertanian saat ini dianggap tidak prospektif. Alur logika sederhananya untuk apa mengeluarkan biaya begitu tinggi untuk kuliah kalau akhirnya nanti setelah lulus tidak ada kesempatan untuk bekerja atau  berbisnis. Ironis memang di negeri agraris seperti Indonesia yang demikian suburnya, pertanian menjadi sektor yang dihindari oleh para generasi mudanya.

Jangankan generasi muda di kota  yang sudah tidak mau bersekolah  di jurusan pertanian dan kalaupun sudah ada yang kuliah di jurusan pertanian namun mungkin hampir 90% lulusannya tidak bekerja di bidang  pertanian secara langsung, generasi muda di desa pun lebih bangga menjadi pengangguran yang bisa main gitar sekedarnya sambil teriak-teriak tidak jelas (katanya sih nyanyi) dibanding menjadi seorang petani.  Tidak hanya pemudanya, para pemudinya pun di desa-desa ini memimpikan  untuk keluar dari desanya dan berharap mendapatkan pekerjaan di kota atau bahkan di luar negeri. Cerita mudahnya mendapatkan ‘dollar’ dari orang yang sudah pernah ke luar negeri atau keluarganya walaupun ini mungkin  hanya beberapa gelintir saja dari puluhan gelintir yang menjadi TKI di luar negeri, turut melambungkan impian mereka menjadi lebih indah lagi.  Apalagi dengan propaganda yang dihembuskan berbagai media massa bahwa mereka adalah ‘PAHLAWAN DEVISA’ semakin meningkatkan keinginan untuk  mencoba menggapainya.

Biasanya para pemudi yang terjerat impian ini lebih suka berdiam diri di rumah, tidak mau membantu orang tua nya di sawah.  Bahkan di salah satu kampung kecil di Subang dan pasti banyak terjadi juga di tempat lain, ada petani yang rela menjual sawahnya seharga 17 juta rupiah untuk membiayai kepergian anak gadisnya menjadi TKW ke luar negeri dan ternyata menjadi korban penipuan agen tenaga kerja fiktif, uang 17  juta amblas secara bertahap. Tidak kapok dengan raibnya uang ini, anak  petani ini malah merengek lagi agar orang tuanya menjual sisa lahan sawahnya yang tinggal senilai 4 juta untuk kembali mencoba ikut program  pemberangkatan TKI dengan alasan supaya bisa bekerja dan mengganti uang 17  juta yang dibawa lari agen tenaga kerja fiktif……..  Kalau tertipu  lagi? Ya tamatlah sudah keberadaan sumber penghidupan satu keluarga ini.

Keluguan, kepolosan, kurangnya wawasan para petani serta keluarganya dan juga ketidakpuasan terhadap sektor  pertanian jelas menjadi sebagian penyebab terjadinya hal tersebut, namun siapa yang peduli dengan kondisi mereka? Para pemudi yang relatif lebih pemalu lebih suka nonton televisi di rumah dan malas bersosialisasi sedangkan para pemuda nya yang relatif tidak punya rasa malu lebih suka hura-hura dengan bernyanyi-nyanyi dan kumpul-kumpul di warung.

Namun sedikit perubahan dapat terjadi bila ada pemuda kota yang datang ke desa mereka dan mengerjakan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan oleh orang tua mereka sebagai petani. Sekali lagi melakukan pekerjaan yang  sama, bukan sebagai penyuluh, pembimbing, penggerak atau sejenisnya. Ternyata masih ada beberapa pemuda desa yang tergerak untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh pemuda kota lulusan D-3 Manajemen Agribisnis Unpad  yang kabarnya tahun sekarang tidak mendapatkan mahasiswa baru, yang kami  tempatkan di sana sebagai ‘petani kontemporer’ menggarap lahan yang digadai dari penduduk setempat seluas sekitar setengah hektar.

Para pemuda desa ini mulai tertarik untuk mengobrol-ngobrol mengenai pertanian dan sudah mulai mengikuti kegiatan yang ringan seperti panen – suatu hal yang  cukup melegakan dan menggembirakan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana  pertanian Indonesia  di masa yang akan datang kalau sekarang saja yang bekerja di sawahnya sudah banyak aki-aki renta berusia 60 tahun-an yang untuk berjalan dari rumah ke sawah saja butuh waktu yang lama? Sangat  mengenaskan bila sawah-sawah kita dimasa mendatang menyerupai panti jompo  karena tidak ada lagi pemuda yang tertarik untuk terjun ke dunia pertanian atau berubah menjadi industri pertanian milik asing dengan kuli-kulinya  para pemuda kita. Bagaimana kah dengan nasib pertanian di Indonesia ini? Para generasi penerus lah yang menentukan.

Bab III Sasaran

Ada beberapa faktor penyebab untuk bisa menjawab kenapa program studi pertanian sepi peminat. Pertama, adanya imajinasi  yang mengaitkan pertanian adalah pekerjaan yang tidak memiliki prospek cerah untuk menjamin masa depan. Mulai dari keluarga sebagai pranata terkecil, orang tua menyosialisasikan anak-anak harus menjadi dokter, pilot, dan bidang kerja lain yang nonpertanian. Memilih jalan menjadi sarjana pertanian dianggap sama dengan memilih mendapat status kemiskinan dan pengangguran.

Kedua, faktor nonpertanian lebih menjanjikan lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan lebih bervariasi. Hal ini bisa kita lihat dengan mata telanjang di kolom lowongan kerja di berbagai media massa yang sangat jarang membutuhkan lulusan dari fakultas pertanian. Pada 2008, ada 940 perusahaan/jasa membutuhkan tenaga kerja, tetapi hanya tiga perusahaan atau sekitar 0,31 persen dari total perusahaan/jasa yang membutuhkan sarjana pertanian.

Ketiga, pengembangan  pertanian oleh pemerintah berjalan setengah hati. Pemerintah lebih memihak pada faktor yang dianggap lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, polarisasi pembangunan kota dan desa juga turut menyumbang makin ditinggalkannya  pertanian. Kota identik dengan kemakmuran dan industrinya sedangkan desa identik dengan daerah miskin yang tidak punya masa depan bagi pencari kerja. Padahal jika ini berkembang dan didukung penuh pemerintah, akan menarik gerbong minat calon mahasiswa dan lulusan pertanian untuk bekerja di pertanian.

Keempat, peran universitas yang belum mampu melakukan transformasi dalam pengembangan  pertanian. Lulusan-lulusan pertanian cenderung memiliki kemampuan yang  hanya di seputar penguasaan teori. Menurut hasil survey Subdirektorat Kurikulum dan Program Studi yang dilansir 2005, seorang lulusan sarjana pertanian setidaknya dituntut memiliki delapan kompetensi penting, yakni kompetensi umum di  pertanian, mengerti dan menguasai kearifan lokal daerah yang menjadi domisili ia berkarier, piawai memanfaatkan ICT (information and communication technology), memiliki kemampuan penyelesaian masalah yang baik, berjiwa entrepreneur, memiliki pengetahuan bisnis, komunikatif, dan mampu bekerja sama serta memiliki jiwa leadership.

Untuk itu ada beberapa langkah yang bisa kita rumuskan bersama. Hal yang sangat mendesak adalah dekonstruksi stigma pertanian sebagai pekerjaan yang identik dengan kemiskinan. Kita ingin mendengar anak-anak berlomba mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang ingin jadi sarjana pertanian. Kita ingin melihat kursi-kursi perguruan tinggi selalu penuh dengan antusiasme.

Pertanian harus bisa membuktikan diri bahwa lulusannya tidak melulu bekerja dengan cangkul, sepetak sawah, dan pola-pola tradisional lainnya. Pembuktian dimulai dari perguruan tinggi yang mengembangkan pertanian menjadi profesi yang menjamin kesejahteraan. Semisal memfokuskan pada agroteknologi/agroekoteknologi dan agribisnis. Penting kiranya mengubah kurikulum untuk menarik minat dan menyesuaikan dengan kebutuhan di masa depan. Memasukkan kewirausahaan dalam kurikulum juga menarik, agar lulusan pertanian tidak hanya menghasilkan tetapi bisa juga menjual hasil produknya. Generasi muda akan tertarik jika usaha yang dilakukan menjanjikan potensi yang besar.

Dukungan dari pemerintah sangat vital. Mengembalikan ector pertanian sebagai primadona menjadi keharusan. Intinya, jika pertanian didukung perkembangannya oleh pemerintah, akan direspons calon mahasiswa sebagai suatu peluang. Memberi penghargaan (reward) bagi peneliti-peneliti akan sangat membantu ector ini diminati. Dukungan beasiswa terhadap riset-riset mahasiswa, penyediaan lapangan kerja bagi lulusan pertanian bisa mendongkrak citra yang telah lama pudar.

Bab V Permasalahan

Ada satu ironi ketika bangsa ini dikenal sebagai negara agraris, ternyata tidak berbanding lurus dengan minat calon mahasiswa pada studi pertanian. Setidaknya, data hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2008 menunjukkan masih terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi bidang pertanian di 47 perguruan tinggi negeri. Sementara pada 2009, data dari panitia SNMPTN tren tersebut terus berlangsung dengan banyaknya bangku kosong di 42 PTN yang menyebutkan studi pertanian salah satu yang tidak populer. Bisa dibayangkan ketika kebutuhan pangan kita sudah tidak ada lagi yang mengurus dan mengembangkannya. Sementara itu negara-negara lain berlomba-lomba mengembangkan bidang pertanian sebagai “bargaining” ekonomi dalam era globalisasi.

Tidak dapat disangkal, sampai hari ini sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi perekonomian Indonesia. Era kejayaan sektor pertanian menuai berkah pada zaman swasembada pangan pada 1984. Gelar sarjana pertanian begitu bergengsi. Namun, memasuki lompatan jauh ke era industrialisasi, sektor pertanian ikut tenggelam digilas laju pembangunan pabrik-pabrik yang menggusur lahan-lahan pertanian. Sektor pertanian mau tidak mau terkena stigma sebagai pekerjaan orang miskin. Imajinya lekat dengan pekerjaan yang tidak memiliki prospek ke depan.

Konstruksi paradigma seperti ini tidaklah muncul dari ruang kosong. Kita turut mendekonstruksi dan memberi simbol-simbol sektor pertanian menjadi tidak menarik. Padahal, sektor pertanian merupakan penyedia bahan baku bagi industri. Selain itu, produk pertanian merupakan kontributor komoditas ekspor yang cukup penting dan penyedia lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran. Faktor pentingnya sektor pertanian dikalahkan derap laju industri yang di satu sisi juga menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Salah satu dari sekian banyak permasalahan yang menyandera sektor pertanian adalah SDM yang minim. Perguruan tinggi sebagai pencetak ahli-ahli pertanian menghadapi situasi di mana fakultas pertanian tidak diminati calon mahasiswa. Sementara negara-negara lain sudah mengembangkan variasi-variasi produk pertaniannya, kita terbenam dalam lumpur paradigma yang menganggap untuk bisa mengembangkan pertanian tidak perlu kuliah di perguruan tinggi.

Berikut analisa dengan menggunakan anailsis SWOT

  1. Strenght (Kekuatan)
    1. Penduduk Indonesia yang banyak
    2. Perkembangan teknologi yang tepat guna untuk pertanian
    3. Tanah di Indonesia yang subur
    4. Banyak lahan yang bisa untuk bercocok tanam
    5. Lembaga pendidikan yang mendukung kemajuan pertanian
  2. Weakness (Kelemahan)
    1. Makin kurang diminatinya pertanian oleh generasi muda
    2. Pemerintahan yang kurang mendukung system pertanian
    3. Lulusan mahasiswa perguruan tinggi di bidang pertanian makin sedikit
    4. Sistem pertanian kurang dikembangkan dengan teknologi modern
    5. Sarana dan prasarana untuk sharing informasi mengenai pertanian kurang memadai
    6. Banyak generasi muda melanjutkan studi nya tidak di bidang pertanian
    7. Anggapan masyarakat bahwa petani itu pekerjaan kasar dan identik dengan kemiskinan
  3. Opportunity (Peluang)
    1. Luasnya lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian
    2. Teknologi yang mendukung pertanian
    3. Banyaknya penduduk Indonesia
    4. Tenaga kerja yang mencukupi
    5. Lembaga pendidikan yang mendukung di bidang pertanian
  4. Threathment (Tantangan)
    1. Dukungan pemerintah untuk mengembangkan pertanian
    2. Peremajaan alat – alat pertanian
    3. Modernisasi system pertanian
    4. Pembelajaran kepada masyarakat tentang pertanian

Bab V Penutup

  1. A. Kesimpulan

Peran pemuda dalam pengembangan pertanian sangat berpengaruh sekali, peningkatan taraf rakyat desa yang sebagaian pekerjaannya sebagai petani juga sangat berpengaruh. Peran pemuda juga sangat berpengaruh dalam penyebaran informasi bagi para petani. Selain itu pemuda juga harus dibekali cara-cara pertanian yang baik dan benar, sehingga sewaktu-waktu mereka dibutuhkan, mereka telah siap.

Selain dari para pemuda, peran pemerintah juga sangat berpengaruh besar, pemerintah selaku pemegang hak tertinggu pemerintahan, dapat memberikan peran serta aktif memberikan sumbangsih dalam hal peningkatan pertanian dengan cara memberikan kredit lunak terhadap para petani, menghapus peraturan-peraturan yang memberatkan para petani dan juga memberikan modal-modal awal yang besar kepada para petani sehingga para petani lebih mudah dalam mencari bibit-bibit yang brrkualitas sehingga merka lebih mudah dalam menjalakan produksi pertanian.

  1. B. Rekomendasi

Untuk meningkatkan peran pemuda dalam perkembangan pertanian dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  1. Peningkatan sumber daya manusia terutama pemuda dalam peran aktif di sektor pertanian
  2. Merubah pola fikir tentang petani itu kasar dan identik dengan kemiskinan dengan tanpa petani kita tidak bisa makan
  3. Peningkatan taraf hidup masyarakat desa sehingga dapat bersaing dengan masyarakat kota
  4. Mengembangkan system pertanian masyarakat desa dengan teknologi modern
  5. Pemuda yang harus lebih aktif dan selektif dalam memilih jurusan di Universitas
  6. Mengembangkan akses informasi tentang pertanian
  7. Pemuda harus bisa lebih giat dalam peningkatan pertanian Indonesia
  8. Pemuda juga harus sadar bahwa kita tidak bisa hidup tanpa adanya petani.

Categories: Tugas
  1. November 29, 2010 at 10:08 AM

    sedih kalau baca artikel atau dengar diberita bahwa pertanian mulai dijauhi oleh generasi muda..
    lantas siapa ya yang bakal nerusin pertanian indonesia?
    masa iya,kakek-kakek yang udah sepantasnya istirahat dirumah terpaksa tetep nyangkul kesawah karena anak-cucunya enggan terjun kesawah?

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment